Manokwari, harianpapuanews.id – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Papua Barat sosialisasikan pedoman terbaru pemberitaan kekerasan terhadap anak. Kegiatan yang berlangsung di RM Salam Manis Jalan Merdeka, Manokwari, Papua Barat, Rabu (06/03/2019) itu diikuti puluhan insan media online, cetak, dan elektronik untuk membedah etika jurnalistik dalam berita kekerasan seksual terhadap anak.
“Berbagai kasus mengenai tindak kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak telah dianggap sebagai peristiwa besar, dan sangat menarik untuk diungkapkan. Maraknya pemberitaan mengenai kekerasan dan pelecehan terhadap anak di berbagai media massa tak luput dari perhatian publik,” kata Ketua PWI Papua Barat Bustam.
Menurut Bustam, berita mengenai tindak kekerasan atau pelecehan seksual muncul, karena para pekerja media atau wartawan ingin mengungkapkan fakta, sehingga sering kali sebuah peristiwa akan diceritakan secara detail. Akan tetapi pengungkapan secara detail dalam sebuah berita terkadang akan menimbulkan masalah.
“Hal ini dapat dibuktikan pada berita-berita yang mengangkat mengenai peristiwa tindak kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak. Pemberitaan media akan kekerasan seksual pada anak sangatlah berpengaruh kepada anak yang menjadi korban,” sebut Bustam.
Adapun pengaruh tersebut juga akan memunculkan dua dampak yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif tentunya diharapkan dengan adanya pemberitaan media, masyarakat akan muncul rasa empati dalam dirinya untuk tergerak membantu korban.
Selain itu, masyarakat juga akan menambah sikap pencegahan kejahatan supaya kejahatan serupa tidak terjadi lagi. Namun, yang menjadi konsen dalam pembahasan ini adalah dampak negatif dari pemberitaan kekerasan seksual terhadap korban anak sendiri.
“Tanpa disadari, terkadang media terlalu berlebihan dalam memberitakan korban anak tersebut, sehingga masyarakat tahu bahwa anak itu telah menjadi korban asusila. Pemberitaan tersebut secara jelas menyebutkan nama, perlakuan yang diterima, asal tempat tinggal, keluarga, dan lain-lain. Jika memandang dari dampak negatif, pemberitaan ini akan memperkuat label masyarakat terhadap anak tersebut bahwa anak itu sudah tidak baik lagi,” ungkapnya.
Label yang diberikan masyarakat kepada anak korban kekerasan seksual seperti sudah tidak perawan lagi, anak nakal, anak liar dan sebagainya pasti akan menempel pada anak dimaksud. Padahal secara realitas anak ini adalah sebagai korban yang tidak mengetahui apa-apa. Akhirnya anak menjadi korban karena segala kesalahan yang dilakukan pelaku dewasa pada akhirnya ditanggung oleh korban anak.
“Berkaitan dengan permasalahan di atas sudah ada upaya-upaya untuk meminimalisir dampak negatif tersebut yakni, sudah dilaksanakan dengan membuat sebuah kode etik jurnalisitik yang berisi panduan-panduan dalam membuat suatu pemberitaan termasuk pemberitaan kasus kekerasan seksual yang dialami anak,” ungkap Bustam.
Pelaksanaan terhadap kode etik jurnalistik sudah dipaparkan dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 Pasal 7 ayat 2 tentang Pers. Selain itu, diperkuat dengan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) terkait Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun terdapat perbedaan dalam pengaturan batasan usia terkait perlindungan anak. Antara lain dalam KUHP dan Kode Etik Jurnalistik (16 th), Undang-Undang Perlindungan Anak serta UU Sistem Peradilan Pidana Anak (18 th) dengan Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (21 th), dan UU Administrasi Kependudukan (17 th).
“Namun komunitas pers Indonesia yang terdiri dari wartawan, perusahaan pers dan organisasi pers bersepakat membuat suatu pedoman penulisan ramah anak yang akan menjadi panduan dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Sebab, wartawan Indonesia menyadari pemberitaan tentang anak harus dikelola secara bijaksana dan tidak eksploitatif, tentang suatu peristiwa yang perlu diketahui publik,” jelas Bustam.
Pemberitaan ramah anak ini dimaksudkan untuk mendorong komunitas pers menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati dan bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak, anak yang terlibat persoalan hukum ataupun tidak; baik anak sebagai pelaku, saksi atau korban. Pedoman pemberitaan ramah anak yang disepakati menggunakan batasan seseorang yang belum berusia 18 tahun, baik masih hidup maupun meninggal dunia, menikah atau belum menikah.
“Identitas anak yang harus dilindungi adalah semua data dan informasi menyangkut anak yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak seperti nama, foto, gambar, nama kakak, adik, orangtua, paman, bibi, kakek, nenek dan tidak menyebut keterangan pendukung seperti alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan, klub yang diikuti, dan benda-benda khusus yang mencirikan sang anak,” pungkas Bustam. (mel)
Berikiut Rincian Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
- Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
- Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
- Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
- Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
- Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
- Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
- Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
- Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
- Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
- Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
- Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
- Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
