SEBAGAI Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (Lawyer and Human Rights Defenders) di Tanah Papua, saya memberikan apresiasi yang tinggi dan berterima kasih kepada Presiden Kepulauan Marshall (Marshall Islands) Hilda Heine dan Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga.
Yang mana kedua kepala negara dan pemerintahan Kepulauan Marshall dan Tuvalu tersebut secara terhormat dan beradab serta secara etis telah mengangkat kembali perlunya keterlibatan Perserikatan Bangsa Bangsa/PBB (United Nations/UN) dalam mendorong penyelesaian tuntutan pemenuhan hak menentukan nasib sendiri (rights to self determination) rakyat Papua (West Papua).
Seruan Nyonya Hilda Heine selaku Presiden Kepulauan Marshall kepada PBB melalui Sidang Majelis Umum ke-73 pada Selasa, (25/09/2018) dengan tekanan pada pentingnya dilaksanakan dialog terbuka di PBB mengenai Papua (West Papua). Ini penting untuk disikapi secara positif oleh semua pihak, termasuk PBB dan juga pemerintah Indonesia. Tekanan pidato Kepala Negara Marshall Islands tersebut menjadi bukti faktual bahwa ada masalah hak asasi manusia yang belum terselesaikan di Tanah Papua dan penting PBB terlibat dalam penyelesaiannya.
Demikian pula dengan pidato Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga yang kembali menekankan bahwa pihaknya dalam konteks komunitas negara-negara Kepulauan Pasifik telah menempatkan isu Dekolonisasi dan HAM sebagai hal penting. Sehingga pemerintah Tuvalu mengharapkan keterlibatan PBB dalam ulaya nyata untuk menemukan solusi bagi perjuangan bangsa Papua. “Kami percaya bahwa PBB harus terlibat dengan rakyata West Papua untuk menemukan solusi abadi untuk perjuangan mereka”, tegas Perdana Menteri Tuvalu tersebut.
Hal ini menjadi penting bagi PBB guna mempertimbangkan dimulainya langkah-langkah konstruktif dalam mereview keterlibatan badan dunia tersebut pada proses penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua di tanah airnya sendiri tahun 1969 (49 tahun yang lalu).
Sesungguhnya di Indonesia dan di tanah Papua berbagai upaya untuk mendesak diselesaikannya hal ini secara terhormat sudah tertuang dalam amanat pasal 45 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan juga Papua Barat atas amanat UU RI Nomor 35 Tahun 2008. Namun pemerintah Indonesia tidak pernah menaruh perhatian serius terhadap hal tersebut.
Bahkan pemerintah Indonesia senantiasa mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) dalam menyikapi tuntutan aspirasi politik rakyat/bangsa Papua tersebut. Sehingga senantiasa terjadi tindakan-tindakan berkategori kejahatan terhadan kemanusiaan (crimes againts humanity), kejahatan genosida bahkan kejahatan agresi yang (diduga) seringkali melibatkan oknum aparat keamanan dari TNI maupun Polri.
Sayang sekali karena upaya penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun tersebut tidak pernah berjalan bahkan cenderung menimbulkan trauma di kalangan rakyat sipil Papua dan impunitas yang berkepanjangan di Tanah Papua. Celakanya pimpinan negara Indonesia tidak pernah mau melakukan upaya permintaan maaf kepada rakyat Papua hingga saat ini.
Sebagai Direktur Eksekutuf Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, saya mendorong seluruh komponen perjuangan rakyat Papua di Tanah Papua agar memahami dengan sungguh pernyataan-pernyataan pimpinan negara dan pemerintah Marshall Island dan Tuvalu tersebut.
Kemudian merumuskan langkah-langkah strategis yang dibenarkan dalam sistem hukum nasional Indonesia maupun hukum internasional. Terutama dengan menggunakan segenap prosedur dan mekanisme PBB di dalam mendorong implementasi penyelesaian persoalan HAM dan dekolonisasi West Papua pada tingkat internasional. (***)
Oleh: Yan Christian Warinussy
(Penulias Adalah Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua dan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Pernah meraih Penghargaan Internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom award” Taun 2005 di Montreal-Canada).
