Memaknai Sumpah Pemuda 2018
DEKADENSI moral dan prestasi pelajar terhadap dinamika perkembangan zaman. Pelajar merupakan salah satu status yang tidak semua orang menyandangnya, hal ini di karenakan bukan karena pelajar di khususkan untuk anak yang berdarah biru, bangsawan, konglomerat sampai pejabat, tapi hal ini di karenakan memang ada aturan khusus dari mendiknas bahwa usia pelajar di sekolah memang di batasi. Itu terlihat ketika penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah misalnya, persyaratan pendaftaran siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat umurnya tidak boleh lebih dar 17 tahun, dan juga permasalahan klasik yaitu harus membayar uang sumbangan pembangunan yang jumlahnya tidak terjangkau oleh masyarakat menengah kebawah.
Akibatnya banyak masyarakat miskin yang tidak mampu membiayai sekolah anaknya dan juga mengurungkan niat untuk menyekolahkan anaknya dan akhirnya memilih menyuruh anaknya untuk kerja serabutan membantu mencari nafkah keluarga. Dengan skill dan keterampilan yang minim, anak disuruh mengais rizqi seperti menjadi kuli panggul di pasar, semir sepatu, mengamen, sampai mengais sisa-sisa makanan yang tercecer di pinggiran jalan. Sungguh tragis nasib yang dialami oleh generasi penerus bangsa ini, maka bersyukurlah kita yang bisa menikmati bangku sekolah sampai saat ini. Banyaknya anak yang putus sekolah dan tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seharusnya menjadi perhatian khusus dari pemerintah.
Di tambah semakin banyaknya sekolah yang berambisi merintis sekolah bertaraf Internasional atau yang lebih kita kenal (RSBI) dan setelah rintisan berjalan beberapa tahun akhirnya jadilah (SBI) sekolah bertaraf internasional, yang mana biaya untuk masuk di sekolah ini pun mahalnya melebihi perguruan tinggi. Bisa kita katakan yang bersekolah disini adalah kalangan elit perkotaan, anak pejabat, konglomerat yang mana mereka mempunyai uang lebih untuk membiayai anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan di sekolah yang faforit dan berkelas. Hal itu tanpa disadari telah memarginalkan eksistensi sekolah-sekolah swasta milik instansi kelembagaan ataupun organisasi masyarakat, betapa tidak hal itu secara otomatis akan menimbulkan deskriminasi dalam dunia pendidikan itu sendiri, karena hanya segelintir orang tertentu saja yang bisa menikmati pendidikan yang berkelas eksekutif.
Padahal, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional pasal 7 yang berbunyi. “Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan di selenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan”. Hal ini seakan menafikan keberadaan anak-anak jalanan yang tidak bisa sekolah karena persoalan ekonomi. Jangankan di sekolah yang faforit dan bertaraf internasional, di sekolah yang reguler biasa saja mereka tidak mampu untuk membayarnya. Kalau kita cermati, sebetulnya tidak ada perbedaan yang spesifik antara sekolah yang bertaraf internasional dengan sekolah reguler biasa atau yang lebih kita kenal dengan Sekolah Standar Nasional (SSN) hanya terletak pada gedungnya yang megah bergaya luar negeri, pembelajaranya menggunakan multimedia, pengajaranya agak ditambahi bahsa Inggris sedikit dalam pengantarnya dan tentunya dengan biaya yang tinggi.
Lalu bagaimana dengan kualitas gurunya? Siswanya? Materi pelajaranya? Apa bertaraf Internasional? Hampir dipastikan bahwa gurunya kualifikasinya sama dengan guru yang ada di sekolah biasa, siswanya juga dari dalam negeri semua, materi yang diajarkanya pun materi pelajaran yang biasa diajarkan di banyak sekolah reguler, seharusnya sekolah-sekolah yang memang bertaraf dan berkualitas internasional tidak seperti itu, diskripsinya diantara lain: Pengajarnya yang profesional dan berkompeten dalam bidangnya, siswanya yang berasal dari berbagai kalangan baik dalam maupun luar negeri dengan berbagai latar belakang, materinya pun standar internasional yang diakui dalam dunia akademik, tidak di pungut biaya dalam proses pendidikanya, serta memberikan kontribusi pada khazanah intelektual dunia.
Kalau memang Kemendiknas mempunyai program sekolah bertaraf internasional, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengentaskan kemiskinan dan anak-anak yang putus sekolah maupun tidak bisa sekolah untuk bisa bersekolah kembali. Karena negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan kepada warga negaranya seperti yang tertulis dalam Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional Pasal 5 yang berbunyi “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”.
Adapun Langkah yang kedua adalah menekan biaya sekolah bertaraf internasional seminimal mungkin agar terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, langkah ketiga adalah menyamakan persepsi kepada masyarakat tentang program pemerintah agar tidak terjadi mis understanding, dan yang terakhir adalah melakukan hubungan kerja sama diantara nagara negara maju agar terciptanya iklim pendidikan di Indonesia yang progressif dan multikultural. Namun, pelajar sekarang kurang memahami apa sebetulnya hakikat dan tugas seorang pelajar. Mereka hanya berangkat pagi dapat uang saku kemudian berangkat sekolah setelah bel berbunyi tanda pelajaran sekolah telah usai kemudian bergegas pulang dan selesai.
Dengan tanpa belajar, tanpa memahami sopan santun dalam lingkungan sekitar apa itu realita potret pelajar zaman sekarang? Nampaknya pelajar mengalami dekadensi di semua elemen yang mempunyai relevansi denganya baik dari segi prestasi akademik, kurangnya sopan santun terhadap lingkungan di sekitarnya. Ditambah lagi persoalan Ujian Nasional (UN) yang setiap tahun mengalami perubahan dari standar minimal kelulusan sampai prosedur yang digunakan, sering kali menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak membuat pelajar terbebani dan kebingungan dalam menyikapinya, ada yang stress, depresi, bahkan ada yang sampai bunuh diri karena nantinya takut dan malu kalau tidak lulus.
Hal ini nampaknya tidak berpengaruh pada Kemendiknas untuk tidak merubah sistem yang ada, maka tidak heran kalau mutu pendidikan di Indonesia belum bisa di sejajarkan dengan negara-negara berkembang lainya seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Di sisi lain, dalam dinamika perkembangan zaman yang disesaki dengan teknologi informasi berbasis multimedia seperti handpone dan laptop yang seakan wajib dimiliki oleh setiap pelajar, internet yang mudah di akses dimana-mana, membuat pelajar hanyut terbuai di dalamnya, sehingga tidak berlebihan kalau internet di ibaratkan seperti halnya pisau yang tajam.
Filosofi pisau itu tergantung yang memakainya, mau digunakan untuk peralatan masak di dapur atau digunakan untuk melukai seseorang tergantung yang memakai. Sama halnya seperti internet, kalau digunakan untuk hal-hal positif juga besar manfaatnya. Namun sebaliknya, kalau digunakan untuk hal-hal negatif juga tidak kalah besar bahaya dan dampaknya bagi generasi muda terutama pelajar. Betapa tidak pornografi yang marak dimana-mana membuat pelajar penasaran dan ingin mengaksesnya karena memang jiwa remaja yang masih labil dan belum menemukan jatidirinya, teknologi mempermudah untuk melakukan hal tersebut dengan cara bluetooth dan diupload di internet pornografi pun secara cepat menyebar di seluruh penjuru nusantara.
Hal ini membuat pemikiran pelajar tidak mengalami perkembangan otaknya sudah di penuhi ilustrasi yang mereka tonton, cara mengidentifikasi pelajar sudah terjangkit pornografi atau tidak, itu bisa dilihat dari perilaku dan tutur katanya sering berbicara jorok kepada teman sesamanya, sering menyendiri, melamun membayangkan sesuatu yang dia tonton, merubah kebiasaan yang sudah mengakar memang tidak semudah membalikan tangan, harus didasari dengan pendekatan emosional dan kesadaran dari hati ke hati antar semua elemen yang berkaitan dari mulai orang tua di rumah memberi contoh kepada anak-anaknya yang baik, civitas akademika di sekolah berinovasi bagaimana upaya agar para pelajar antusias dalam mengikuti pembelajaran di sekolah, pemerintah memproteksi situs-situs porno dan menindak tegas bagi orang yang mengedarkan dan menyebarluaskan, kalau hal itu terpenuhi maka pernografi bisa teratasi dan tidak menjadi bumerang bagi pelajar.
Di tengah problematika pendidikan yang sangat kompleks ini, urgensi peran pelajar sangat dibutuhkan sekali oleh masyarakat. Oleh karena itu, pelajar harus menunjukan perubahan yang signifikan terhadap diri mereka sendiri terutama dalam bidang moral akhlak, dan prestasi akademik karena yang dilihat dalam masyarakat selain prestasi akademik, perilaku dan akhlak mereka pun di dalam interaksi sosial juga dinilai sebagai norma-norma kesusilaan yang dijunjung tinggi. Belakangan ini Indonesia dikejutkan dengan kelakuan para pelajar yang sudah bertindak diluar batas normal. Bukan hanya melakukan tawuran yang memang sangat merugikan semua pihak, melainkan video porno yang sudah beredar hampir keseluruh tanah air dengan adegan yang menurut dunia pendidikan sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang pelajar apalagi didepan umum. Ironisnya, pelajar-pelajar yang melakukan aksi tersebut sama sekali tidak merasa keberatan merekam tindakan asusilanya tersebut dan bahkan menjadikan aksi tersebut sebagai lelucon dan gurauan. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi sedangkan yang seharusnya mereka lakukan adalah belajar serta menuntut ilmu demi masa depan mereka dan kemajuan bangsa.
Pemerintah yang menanggapi permasalahan tersebut melihat adanya aspek pengawasan yang rendah dari orang tua pelajar-pelajar tersebut serta rendahnya pengawasan dari aparat setempat jika ditinjau mengenai kasus tawuran antar pelajar bahkan antar mahasiswa. Bimbingan yang kuat serta pengawasan dari pendidik juga sangat diperlukan, apalagi motif yang mendasar adanya tindak kekerasan atar pelajar tersebut adalah persaingan antar sekolah serta dendam pribadi dari salah satu pelajar yang menjadi provokator. Tindakan kekerasan dan asusila yang mewabah kepada pelajar jaman sekarang harus disikapi dengan bijaksana agar adanya penyelesaian yang efesien. Diperlukan pengawasan yang lebih dari orang tua dan pendidik sekarang ini agar pelajar yang bersikap diluar batas bias diarahkan menjadi lebih baik. Jika tidak ada tindakan yang tegas, tawuran dan tindak asusila akan merajalela serta nilai-nilai bangsa akan hilang begitu saja.
Pegawasan yang ketat memang merupakan kunci utama yang harus dilakukan orang tua dan guru-guru sekarang ini. Karena lingkup termudah yang turut andil dalam pencegahan tidak kekerasan dan asusila terhadap pelajar adalah dimulai dari keluarga dan lingkungan sekolah. Pemerintah pun harus tetap berupaya dalam penuntasan kasus-kasus tersebut melalui aparat setempat dan system keamanan yang berlaku diseluruh wilayah tanah air. Pelajar Indonesia harus diarahkan kepada segala hal yang positif, bermoral, bijaksana, toleran, saling menghargai, berbudi pekerti, berwawasan, cinta tanah air dan berbudi pekerti baik karena merekalah yang menjadi generasi penerus bangsa. Menjadi siswa-siswi yang berprestasi dan membanggakan haruslah menjadi target mereka. Dengan demikian, peran orang tua serta pemerintah dalam mewujudkan generasi bangsa yang cerdas tidak akan sia-sia. ***
(Penulis Adalah Seorang Warga Peduli Pendidikan di Timika-Papua)
