Manokwari, harianpapuanews.id – Salah seorang veteran pejuang kemerdekaan, Indah Suat mengingatkan generasi muda Indonesia untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan patriotisme dalam berjuang membangun bangsa di masa yang akan datang.
“Hari ini kita memperingati suatu peristiwa bersejarah bangsa kita Indonesia. Dimana para pejuang pendahulu kita telah memperjuangkan bangsa ini dengan mencapai kemerdekaan sekaligus mempertahankannya,” kata Suat kepada ribuan generasi muda saat memperingati Hari Pahlawan 2018, di Lapangan Borasi, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Sabtu (10/11/2018).
Menurut Suat, melalui perjuangan panjang, cukup melelahkan dan menelan korban tidak sedikit. Satu fakta yang tidak bisa diingkari bahwa dalam penjuangan tersebut, para pejuang memiliki peran setral dalam keberhasilannya mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Bagi para pejuang, perjuangan tanpa pamrih merupakan panggilan moral untuk tetap mempertahankan eksistensi bangsa dan negara Indonesia.
“Kemerdekaana adalah harga diri bangsa yang harus diwujudkan dan sangat berarti bagi bangsa Indonesia yang sudah berabad-abad mengalami penindasan dari bangsa lain. Namun, tentu tidak pada tempatnya kami para pejuang menepuk dada dan mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia karena keberhasilannya sendiri,” ungkapnya.
Menurut Suat, kebersamaan antara rakyat serta pejuang yang bahu-membahu melawan penjaja yang dilandasi dengan jiwa dan semangat pantang penyerah, serta rela berkorban tanpa pamrih merupakan nilai-nilai perjuangan yang digali para pejuang, dan akhirnya berhasil membebaskan bangas Indonesia dari belunggu penjajah.
“Untuk itu mari kita mengenang kembali peristiwa monumental, pertempuran 10 November 1945 yang dilakukan rakyat dan pejuang kala itu,” ungkapnya.
Pada Tanggal 27 Oktober 1945 di Kota Surabaya terjadi petempuran pertama antara pejuang Indonesia melawan pasukan sekutu India pimpinan Brigjen AWS. Mallaby, pada waktu itu tentara Inggris dan Nica menduduki tempat strategis, maka rakyat menjadi marah akhirnya timbul perang/bentrok yang akhirnya terbunuh Brigjen Mallaby. Pada puncaknya, 10 November 1945 pukul 05.00 pagi, tentaran Inggris diboncengi tentara Belanda mengadakan serangan besar-besaran dengan mengarahkan tank-tank dan pesawat tempur.
“Tetapi pelajar dan tentara keamanan rakyat (TKR) dengan gigih menyerang pasukan Inggris dan Belanda, bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan bangsa yang telah diraih,” jelas Suat.
Walaupun tentara Inggris dan Belanda memiliki senjata modern tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat para pejuang, tak gentar maju menyerang demi mempertahankan kemerdekaan bangsa. Tak rela sejengkal pun kemerdekaan yang telah diraih dirampas kembali. Ribuan pejuang gugur diharibaan Ibu Pertiwi, sehingga terpatrilah pidato Bung Tomo yang membakar semangat para pejuang.
“Selama benteng-benteng Indonesia masih mempunyai darah merah, yang dapat membuat secacar kain putih. (marah dan putih) lebih baik hancur lebur dari pada tidak merdeka. Merdeka atau mati,” turut Suat.
Melalui momentum pertempuran 10 November 1945, Suat berpesan kepada generasi penerus bangsa, beban generasi sekarang sungguh tidak ringan, namun berbekal pengalaman sejarah bangsa masa lalu, setidak-tidaknya semangat kebersamaan yang dipadu dengan nilai-nilai perjuangan lainnya dapat menjadi kunci utama bagi keberhasilan dalam mencapai cita-cita dan kehendak untuk membangun bangsa.
“Demikian apa yang menjadi harapan kami para pejuang kepada generasi muda untuk dapat terus menjaga identitas dan jati diri bangsa, dalam mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di kanca Internasional,” pungkasnya. (mel)