Manokwari, harianpapuanews.id – Perusahaan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) PT Agro Papua Inti Utama (PT APIU) dituding serobot kawasan hutan lindung yang masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten yang terletak, di Kampung Barma Barat, Distrik Meyado dan Moskona Selatan, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat.
Koodinator Data dan Advokasi Panah Papua, Aloysius Entama mengatakan, PT APIU bekerja pada area konsesi Sawit PT Subur Karunia Raya (PT SKR) berdasarkan Izin IPK yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan melalui SK Nomor 522.2/548/DISHUT-PB/SK.IPK/10/2017. Namun perusahaan ini telah melakukan pembukaan hutan sekunder pada wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam RTRW Provinsi dan Kabupaten.
“Jika mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Nomor 4 Tahun 2013 tentang RTRW Provinsi Papua Barat terdapat kawasan resapan air seluas 750 ribu hektar dan kawasan bergambut seluas 570 ribu hektar yang tersebar di Provinsi Papua Barat. Dari luasan tersebut, sekitar 11.120 hektar kawasan resapan air dan 404 hektar kawasan bergambut berada di dalam konsesi PT SKR,” kata Aloysius saat mengadakan komprensi pers, di Manokwari, Sabtu (17/11/2018).
Menurut Aloysius, pada periode Februari-Oktober 2018 PT APIU telah membuka hutan sekunder seluas 616 hektar di areal yang disebut sebagai Barma Estate. Di dalamnya terdapat kawasan resapan air seluas 399 hektar dan kawasan bergambut seluas 96 hektar.
“Khusus untuk gambut, perusahaan ini juga telah melakukan pembukaan hutan diatas KHG (Kesatuan Hidrologi Gambut) seluas 133 hektar. Luas pembukaan hutan ini berdasarkan hasil tumpang susun peta KHG KemenLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Citra Sentinel,” tegasnya.
Selain itu, sebut Aloysius, PT APIU juga terindikasi melanggar kebijakan RTRW Kabupaten Teluk Bintuni. Padahal Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Teluk Bintuni memuat beberapa kawasan lindung, salah satunya adalah kawasan rawan banjir. Dari 616 hektar pembukaan hutan sekunder yang telah dibuka, terdapat sekitar 602 hektar kawasan rawan terhadap banjir.
“Tentunya pembukaan hutan tersebut akan berdampak pada kampung yang berada di sekitar kawasan barma estate. Seperti kampung Barma Barat, Yakora dan Arandai,” ungkapnya.
Ketua Perkumpulan Panah Papua Sulfianto Alias mengatakan, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah berkomitmen menetapkan 70 persen kawasan lindung dalam revisi RTRWP Papua Barat, dalam Permen ATR Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali RTRW, pelanggaran terhadap tata ruang tidak dapat diputihkan.
“Hal ini berarti dalam proses revisi RTRW, tidak ada kompromi terhadap pelanggaran ini. Pemerintah harus tegas untuk mempertahanan kawasan lindung untu mendukung komitmen Papua Barat sebagai provinsi konservasi,” jelasnya.
Berdasarkan pengamatan citra satelit Sentinel, Panah Papua menemukan adanya dugaan pembuatan jalan di luar areal konsesi PT SKR dan masuk dalam kawasan hutan. Selain itu, informasi dari Kepala Kampung Barma Yunus Boho menyerbutkan bahwa jalan tersebut dibangun oleh perusahaan IPK dan tersambung dengan logpond yang terletak di Sungai Sebyar.
“Belum diketahui secara pasti apakah pembuatan jalan di dalam kawasan hutan tersebut telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan atau tidak. Kami berharap pemerintah provinsi yang membidangi kehutanan bisa memberikan klarifikasi terkait ini. Jika terdapat pelanggaran, harap dilakukan peninjauan kembali terkait Izin PT APIU,” tegas Sulfianto.
Sulfianto menerangkan, sesuai laporan hitung mundur terakhir dari Greenpeace (2018) PT SKR terhubung dengan Salim Group. Pedagang dan merek yang mengambil minyak sawit dari Grup Salim merupakan pedagang dan merek yang telah menerapkan komitmen tidak melakukan deforestasi, tidak mengkonversi gambut, tanpa mengeksploitasi manusia (NDPE).
“Kami berharap pedagang dan merek tersebut tetap berkomitmen tidak membeli minyak sawit yang dihasilkan dari deforestasi hutan sekunder dan gambut, salah satunya milik PT SKR,” jelasnya.
Masyarakat Kampung Barma melalui Yunus Boho sebagai pemilik hak ulayat telah berkomitmen tidak akan menyerahkan tanah dan hutan mereka untuk dikuasai oleh PT SKR dan mencadangkannya untuk anak cucunya kedepan.
“Kami cadangkan untuk anak cucu kedepannya. Kami lebih memilih mengelola hutan kami sendiri melalui pengelolaan hutan adat,” ungkap Sulfianto mengutib pernyataan Yunus Boho.
Ketua Himpunan Pemuda Moskona, Samuel Orocomna menyebut, pembukaaan hutan untuk perkebunan sawit di Kampung Barma Barat seharusnya didahului oleh adanya penerbitan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Teluk Bintuni.
“Tanpa adanya penerbitan Perda, perkebunan sawit tidak bisa masuk operasi. Selain peraturan, harus ada kesepakatan pemiik hak ulayat apakah mendukung perkebunan sawit atau tidak,” ucapnya.
Untuk itu, gabungan masyarakat sipil serta komunitas masyarakat adat perwakilan suku Moskona merekomendasikan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat meninjau kembali Izin PT APIU dan PT SKR karena telah membuka hutan sekunder dalam kawasan lindung RTRWP dan RTRWK, serta meminta tim penyusun Revisi RTRWP agar tidak memutihkan pelanggaran tata ruang yang dilakukan oleh PT APIU dan PT SKR dan tetap berkomitmen memasukkan kawasan tersebut dalam kawasan lindung RTRWP
“Kami juga meminta pedagang dan merek untuk tidak membeli hasil perkebunan sawit yang melakukan deforestasi hutan dan lahan gambut seperti PT SKR,” tegas Samuel. (mel)
