Manokwari, harianpapuanews.id – Perkumpulan Panah Papua mendesak mendesak Gubernur Papua Barat melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait segera menunjau ulang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) PT Agro Papua Inti Utama (PT APIU) karena telah menyeroboti kawasan hutan lindung yang masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten.
“OPD yang berwenang harus meninjau kembali izin PT APIU karena membukan hutan sekunder yang tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung dalam kawasan RTRW Provinsi dan Kabupaten,” kata Ketua Perkumpulan Panah Papua Sulfianto Alias kepada wartawan, di Manokwari, Senin (19/11/2018).
Saat ini pemerintah provinsis sedang melakukan proses revisi RTRW, sehingga Perkumpulan Panah Papua berharap agar tim yang melakukan revisi terhadap RTRW tidak memutihkan pelanggaran tata ruang dimaksud, tetapi harus berkomitmen untuk memasukkan dalam kawasan hutan lindung RTRW Provinsi.
“Kami mengharapkan sepeti itu karena sesuai dengan kebijakan pusat bahwa tidak ada yang namanya pemutihan,” tegasnya.
Selain itu, pedagang dan merek yang mengambil minyak sawit dari Grup Salim diharapkan untuk tidak membeli hasil perkebunan sawit dari perusahaan yang melakukan deforestasi hutan dan lahan gambut seperti yang dilakukan oleh PT SKR yang saat ini sedang menanam dan nantinya akan berproduksi.
“Sambil menunggu tanggapan dari PT APIU, kami akan melakukan diskusi dengan Dinas Kehutanan guna membahas pembangunan jalan diluar area dari PT SKR. Apakah ada izin pinjam pakai kawasan hutan atau tidak,” taturnya.
Perkumpulan Panah Papua juga akan mendorong Dinas Kehutana Papua Barat untuk bagaimana melakukan mengevaluasi IPK PT SKR dan PT APIU. Sebab, pada pelaksanaan International Conference on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy (ICBE) yang dilaksanakan di Manokwari, 7-10 Oktober 2018 semangat Papua Barat sebagai provinsi konservasi sangat tinggi.
“Sebaiknya pemerintah segera mereview izin PT SKR dan PT APIU karena pembukaan hutan yang dilakukan sejak Februari-Oktober 2018 dengan luasan lahan sebanyak 600 hektar akan terus berlangsung,” terangnya.
Staf Lapangan Perkumpulan Panah Papua, Yosephin Yarangga mengatakan, masyarakat Kampung Barma Barat, Distrik Meyado dan Moskona Selatan, Kabupaten Teluk Bintuni telah berkomitmen untuk tidak memberikan tanah dan hutannya kepada PT APIU dan PT SKR karena mereka akan mencadangkan hutan mereka kedepan untuk anak cucunya.
“Masyarakat di sana lebih memilih untuk mengelola hutan mereka sendiri, ketimbang diberikan kepada perusahaan. Jadi, pemerintah harus mempertimbangkan keluhan ini,” ungkapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejak periode Februari-Oktober 2018 PT APIU telah membuka hutan sekunder seluas 616 hektar di areal yang disebut sebagai Barma Estate. Di dalamnya terdapat kawasan resapan air seluas 399 hektar dan kawasan bergambut seluas 96 hektar.
Khusus untuk gambut, perusahaan ini juga telah melakukan pembukaan hutan diatas Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) seluas 133 hektar. Luas pembukaan hutan ini berdasarkan hasil tumpang susun peta KHG Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) dan Citra Sentinel. (mel)