Manokwari, harianpapuanews.id – Tingkat pembangunan desa di wilayah Papua Barat pada 2018 mengalami peningkatan dibandingkan periode empat tahun silam.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua Barat, Endang Retno Sri Subiyandani menjelaskan, tingkat perkembangan desa yang dicerminkan dari nilai Indeks Pembangunan Desa (IPD) pada 2018 adalah sebesar 38, 15 (skala 0-100).
“Angka ini meningkat sebesar 1,42 poin dari 36,73 pada tahun 2014 menjadi 38, 15 tahun 2018. Namun, pencapaian masih dibawah capaian angka nasional yang mencapai 59,36 pada tahun 2018,” kata Endang ketika merilis data potensi desa (Podes) 2018, di kantornya, Senin (10/12/2018).
Endang menjelaskan bahwa IPD merupakan ukuran yang disusun untuk menilai tingkat kemajuan atau perkembangan desa di Indonesia. IPD pertama kali disusun tahun 2014 untuk memenuhi kebutuhan perencanaan pembangunan desa, serta memonitor dan mengevaluasi kinerja pembangunan desa.
“Selain itu, IPD juga menjadi tolak ukur pencapaian sasaran pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2015-2019,” sebut Endang.
Menurut Endang, indeks ini dibangun dari lima dimensi utama yaitu, pelayanan dasar yang meliputih pendidikan dan kesehatan, kondisi infrastruktur, eksesibilitas/transportasi, pelayanan umum/publik, dan penyelenggaraan pemerintahan.
“Dari nilai IPD, desa dapat dikompokkan menjadi tiga yakni, desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal. Dikatakan desa mandiri jika nilai IPD lebih dari 75, desa berkembang jika dinilai IPD lebih dari 50, sedangkan desa dikatakan tertinggal apabila nilai IPD kurang dari atau sama dengan 50,” tandas Edang.
Selanjutnya Endang mengatakan, bahwa empat dari lima dimensi pembentuk IPD mengalami peningkatan dibandingkan kondisi tahun 2014 yaitu, dimensi infrastruktur, transportasi, pelayanan umum/publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Diantara keempat dimensi tersebut, dimensi yang memiliki peningkatan paling besar adalah dimensi penyelanggaraan pemerintahan yang naik sebesar 7,47 poin dari 44,61 di tahun 2014 menjadi 55,08 pada tahun 2018.
“Berikutnya adalah dimensi transportasi yang mengalami kenaikan sebesar 5,37 poin dari 55,08 menjadi 60,45. Dimensi pelayanan umum naik 2,34 poin dari 40,70 di tahun 2014 menjadi 43,04 di tahun 2018. Sementara itu, dimensi infrastruktur naik tipis sebesar 1,25 poin dari 22,19 menjadi 23.44,” beber Endang.
Di sisi lain, kata Endang, dimensi pelayanan dasar yang mencerminkan ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan mengalami penurunan sebesar 3,23 poin dari 32, 54 menjadi 29, 31.
“Hal ini ditenggarai karena adanya pemerkaran wilayah desa, dimana ada fasilitas kesehatan dan pendidikan yang bergabung dangan desa pemekaran (tidak terletak di desa induk),” ujarnya,
Selanjutnya berdasarkan pengklasifikasian desa. Menurut Endang, podes 2018 mencatat bahwa di Papua Barat sebanyak 1552 desa atau sebesar 82,03 persen desa masuk dalam ketegori desa tertinggal. Sementara itu, terdapat 337 desa atau sebesar 17,81 persen yang masuk desa berkembang, dan hanya tiga desa yang dikategorikan sebagai desa mandiri atau sebesar 0,16 persen.
Namun, jika perbandingan dilakukan untuk desa-desa yang sama dengan tahun 2014 (panel sebanyak 1491 desa), Podes 2018 mencatat bahwa terdapat penurunan jumlah desa tertinggal dari 1289 desa menjadi 1196 desa.
“Atau dengan kata lain ada penambahan jumlah desa berkembang dari 201 desa menjadi 292 desa, serta ada pernambahan desa mandiri dari yang sebelumnya hany satu desa menjadi tiga desa mandiri pada tahun 2018,” ungkap Edang.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tambah Endang, pemerintah telah memberikan peluang kepada desa atau aparat maupun masyarakatnya untuk berpartisipasi aktif menjadi subyek bagi pembangunan di desa.
“Oleh sebab itu, diharapkan bahwa IPD dapat digunakan sebagai pijakan terkait perencanaan pembangunan, dan sebagai alat monotoraing perkembangan desa,” pungkasnya. (mel)
