PADA awal tahun 2019 ini, ketika Bangsa Indonesia sedang mempersiapkan pesta demokrasi Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) secara serentak (17 April 2019), masyarakat di Kabupaten Keerom, Papua-wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga Papua New Guinea (PNG) tengah dirundung kemelut (konflik) politik terkait semakin berlarutnya penetapan jabatan Wakil Bupati Keerom secara definitif oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Banyak pihak sangat khawatir, apabila kemelut politik ini tidak segera diantisipasi dan dikelola secara bijaksana dan tidak segera pula dituntaskan, maka tidak tertutup kemungkinan, kemelut politik tersebut menjadi benih kegagalan Pilpres dan Pileg, sekaligus kegagalan Negara Republik Indonesia dalam menegakkan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) bagi masyarakat lokal (baca: Penduduk Asli Papua) di bidang politik.
Tinggal beberapa pekan lagi, tepatnya 17 April 2019 pesta demokrasi Pileg dan Pilpres digelar secara serentak di seluruh Tanah Air Indonesia, bersamaan dengan itu, konflik politik di Kabupaten Keerom belum juga dapat diselesaikan. Rakyat setempat tidak akan dapat memusatkan perhatian mereka pada persiapan Pilpres dan Pileg karena masih dirundung kemelut politik lokal. Pilpres dan Pileg dapat saja tidak jadi digelar di wilayah ini atau dapat terjadi kekacauan pada hari pemungutan suara apabila konflik politik lokal yang sedang memanas ini tidak segera diakhiri.
Kemelut politik lokal di Kabupaten Keerom saat ini, selain dapat menjadi sorotan masyarakat internasional di bidang penegakkan HAM, juga menjadi “amunisi” bagi para lawan politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dalam masa kampanye Pilpres ini, menuding Presiden Jokowi gagal mengelola konflik politik dan penagakkan HAM di Tanah Papua.
Pemerintah Indonesia melalui Wakil Tetapnya di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dubes Hasan Kleb telah mengundang Dewan HAM PBB untuk meninjau langsung situasi terkini di wilayah Provinsi Papua. Jadwal kunjungan tersebut sedang dibahas antara Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa itu dengan Komisioner HAM PBB, Michele Bachelet.
Tidak tertutup kemungkinan, Dewan HAM PBB tidak hanya meninjau daerah-daerah konflik kekerasan bersenjata di Papua seperti yang sedang terjadi di Kabupaten Nduga, tetapi juga melihat dari dekat konflik politik yang sedang berlangsung di Keerom, sebuah wilayah yang merupakan Beranda Indonesia di perbatasan Negara tetangga PNG.
Dengan berlarut-larutnya pelantikan wakil bupati Keerom hasil Pemilihan DPRD Keerom, yang digelar pada 26 November 2018 lalu, maka bola politik panas yang sedang digelindingkan pihak-pihak tertentu adalah Indonesia sedang tidak memberikan Hak kepada Orang Asli Papua (OAP) untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, misalkan dengan menjadi Wakil Bupati Keerom sisa masa jabatan tahun 2016-2021. Patut dicatat baik-baik bahwa pada hari ini, yang menjabat sebagai Bupati Kabupaten Keerom adalah bukan Orang Asli Papua. Isu ini akan mudah dimainkan untuk menuding Indonesia melanggar HAM (bidang politik) di Papua.
Deklarasi Umun Hak-hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang lahir pada 10 Desember 1948 ditandatangani 58 Negara pada Pasal 21 menyatakan secara jelas bahwa: ”Setiap orang memiliki Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, termasuk Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negaranya”. Apabila, Indonesia menyatakan bahwa Papua adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka pemberian kesempatan kepada OAP untuk berpartisipasi dalam pemerintahan merupakan sebuah keharusan. Mutlak dilaksanakan!
Pihak Kementerian dalam Negeri sebagai pembina politik Negara berkewajiban memberikan pendampingan dalam proses penyelesiaan kemelut politik di Kabupaten Keerom saat ini, bukan hanya mengirimkan surat seperti yang dilakukan Dirjen Otda Dr Sumarsono, MDM kepada Gubernur Papua terkait pengusulan pengangkatan wakil bupati Keerom.
Perseteruan di daerah-daerah konflik sangat sering melibatkan aparat keamanan Polri dan TNI. Dalam situasi konflik, yang biasa terjadi adalah, TNI dan Polri diterjunkan untuk mengamankan atau meredahkan pertikaian fisik dan senjata di tengah amukan massa. Ujung-ujungnya adalah aparat keamanan berhadap-hadapan dengan massa yang adalah rakyat sipil. Apabila jatuh korban di pihak rakyat sipil maka TNI/Polri dituding telah melanggar HAM.
Apabila konflik fisik karena berlarutnya proses penetapan wakil bupati Keerom berakhir dengan jatuhnya korban jiwa dan musnahnya harta benda, maka pihak Kemendagri dapat saja “membela diri” dengan mengatakan bahwa Kemendagri melalui Dirjen Otda telah mengirim surat kepada Gubernur Papua. Dengan demikian, Kemendagri tidak dipersalahkan, yang nanti dipersalahkan adalah Gubernur Papua yang tidak melaksanakan isi surat Dirjen Otda.
Sepertinya, masyarakat di Papua sudah mengetahui cara bertindak dan cara kerja oknum-oknum pejabat Pemerintah Pusat di Jakarta yaitu selama situasi di daerah belum bergejolak, maka mereka bersikap tidak peduli dengan permasalahan yang ada. Nanti, apabila di daerah sudah terjadi perseteruan yang menimbulkan jatuhya korban jiwa dan kerusakan harta benda dalam jumlah yang banyak, barulah mereka mulai bergerak, mencari-cari kalimat pembelaan diri, mempersalahkan pejabat di daerah, mencuci tangan dan melepas tangan!
Selama ini, rakyat sudah mengetahui bahwa aparat TNI cukup sering ragu-ragu untuk bertindak jika terjadi konflik fisik antarmassa, karena khawatir nanti dituding melanggar HAM dan TNI pun menganggap permasalahan ini merupakan wewenang polisi lantaran konflik kekerasan yang terjadi merupakan persoalan Kamtibmas. Jika ada permasalahan Kamtibmas maka itu merupakan urusannya Polisi bukan Tentara. Dalam hal ini, Tentara juga dapat membela dirinya.
Bersamaan dengan itu, rakyat juga sudah mengetahui bahwa polisi sangat sering datang atau tiba di tempat kejadian perkara (TKP) setelah berakhirnya sebuah konflik kekerasan. Polisi datang hanya untuk “melingkarkan pita kuningnya”. Polisi datang bukan untuk mencegah “kebakaran” atau memadamkan “kebakaran” tetapi melingkarkan pita kuning usai kebakaran. Bukti yang dibutuhkan polisi adalah: abu dan arang sisa-sisa kebakaran dan berserakan mayat-mayat korban kekerasan. Polisi baru bertindak, jika sudah ada bukti lapangan, paling kurang dua alat bukti!
Polisi dan Tentara juga kadang ogah bertindak menghalau massa yang beringas berunjuk rasa di kantor-kantor pemerintahan karena mereka sendiri menyadari bahwa dirinya hanya dijadikan sebagai “pemadam kebakaran” oleh para politisi dan penguasa yang korup.
“Pejabat itu yang korupsi, kolusi dan nepotisme serta menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga dan kroni-kroninya. Saat rakyat mengamuk, justru polisi dan tentara yang jadi sasaran amukan massa. Yang berhadap-hadapan dengan rakyat sipil justru polisi dan tentara. Enak benar dia ya…..” demikian sering diungkapkan polisi dan tentara yang bertugas di lapangan.
Realitas Politik Keerom
Walaupun pemilihan calon Wakil Bupati Keerom oleh DPRD Keerom telah berlangsung pada 26 November 2018 yang berhasil memilih calon Wabup atas nama Piter Gusbager untuk selanjutnya diusulkan kepada Gubernur Papua dan Mendagri guna ditetapkan sebagai Wakil Bupati Keerom definitf namun hingga hari ini, Kementerian Dalam Negeri belum juga menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Pengangkatan Calon Wakil Bupati Keerom menjadi Wakil Bupati Keerom sisa masa jabatan Tahun 2016-2021.
Akibat berlarut-larutnya proses penetapan dan pelantikan Wakil Bupati Keerom ini, maka terjadi gejolak politik dalam masyarakat Keerom. Banjir unjuk rasa rakyat Keerom terus berlangsung. Konflik antara masyarakat adat Keerom dengan Bupati Keerom pun tidak terelakkan lagi. Urusan untuk mendapatkan SK Mendagri itu pun menjadi terkatung-katung. Tidak tertutup kemungkinan, rakyat Keerom akan turun lagi dalam jumlah yang lebih banyak untuk berunjuk rasa di Kantor Bupati Keerom dan DPRD Keerom menuntut segera hadirnya Wakil Bupati Keerom definitif.
Pada 18 Januari 2019, Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Dr.Sumarsono,MDM mengirimkan surat kepada Gubernur Papua bernomor: 132.91/361/OTDA perihal Usulan Pengangkatan Wakil Bupati Keerom Sisa Masa jabatan Tahun 2016-2021 yang intinya menyatakan perlu ada “Kesepakatan” partai politik atau gabungan partai politik pengusung untuk mengusulkan dua nama calon wakil bupati. Selain itu meminta agar Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) “Menyepakati” untuk mengusulkan dua orang calon wakil bupati Keerom.
Lebih dari itu, diminta pula kepada Gubernur Papua agar melengkapi berkas usulan tersebut dengan satu dokumen yang menunjukkan “Kesepakatan” dari partai politik pengusung sebagai dasar untuk proses lebih lanjut. Surat Dirjen Otda tersebut dilandasi penafsiran atas amanat Pasal 176 Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Lahirnya Surat Dirjen Otda tersebut di atas memunculkan gelombang unjuk rasa masyarakat adat Keerom di Kantor Bupati Keerom pada pekan terakhir Januari 2019. Dan untuk meredahkan emosi para pengunjuk rasa serta mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan bersama maka pada 30 Januari 2019, terjadi “Kesepakatan Bersama” antara Bupati Keerom, DPRD Keerom, Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera dengan Dewan Adat Keerom yang antara lain menyepakati bahwa perwakilan masing-masing pihak akan berkoordinasi ke DPP PKS dan DPP Partai Golkar serta Kementerian Dalam Negeri guna mempercepat proses pengisian jabatan wakil bupati Keerom.
Selain itu disepakati bahwa PKS Kabupaten Keerom akan membuat surat keterangan tentang kewenangan pemberian rekomendasi pengisian wakil bupati Keerom. Terbitnya Surat Dirjen Otda Dr Sumarsono,MDM tertanggal 18 Januari 2019 Nomor 132.91/361/OTDA tersebut membuka peluang sangat besar bagi banyak pihak untuk mengajukan protes dan keberatan kepadai Dirjen Otda Kemendagri. Di sini, permasalahan Keerom akan melahirkan konflik baru yang berkepanjangan.
Siapa atau pada pasal berapa dari UU Nomor 10 Tahun 2016 itu menghendaki adanya “Kesepakatan” antara partai pengusung? UU tersebut secara terang benderang meminta kepada partai politik atau gabungan partai politik pengusung untuk mengusulkan dua orang calon wakil bupati. Tidak ada kata “Kesepakatan” di dalam UU tersebut.
Siapa juga yang menyatakan bahwa Partai Golkar dan PKS masing-masing tidak atau belum mengusulkan dua nama calon wakil bupati Keerom? Justru Bupati Keerom Muh.Markum yang pada 10 Oktober 2018 mengirimkan surat bernomor 132/479/BUP kepada Ketua DPRD Keerom menyatakan menyetujui dua calon wakil bupati Keerom yang diusulkan Partai Golkar atas nama Herman Yoku dan Piter Gusbager.
Begitu pula, pada tanggal 26 November 2018 (pada hari itu juga digelar Pemilihan Wakil Bupati Keerom), Bupati Keerom Muh.Markum mengirimkan lagi surat kepada Ketua DPRD Keerom bernomor:132/563/BUP yang isinya menyatakan persetujuannya atas dua calon wakil bupati Keerom yang diusulkan Partai PKS atas nama Longginus Fatugur dan Melansius Musui.
Mengapa usulan dua nama calon wakil bupati Keerom dari PKS tersebut dan Surat persetujuan Bupati Keerom atas usulan PKS itu tidak diakomodir oleh DPRD Keerom, karena surat persetujuan Bupati Keerom tersebut tiba di DPRD Keerom bersamaan harinya dengan digelarnya Rapat Paripurna Pemilihan Wakil Bupati Keerom tanggal 26 November 2018 padahal jadwal penyampaian nama bakal calon wakil Bupati Keerom itu sudah harus diajukan dalam Rapat Paripurna DPRD Keerom tanggal 24 Oktober 2018.
Apabila PKS ingin mengajukan calon wakil bupati Keerom maka harus diajukan pada tanggal 24 Oktober 2018, bukan pada tanggal 26 November 2018 saat digelarnya pemilihan Wakil Bupati Keerom oleh DPRD Keerom. Sejarah mencatat, hingga kini, masih terdapat sekitar lima ribu lebih masyarakat asli Papua bermukim di PNG akibat perbedaan pilihan politik masa lalu. Wilayah Keerom sejak dulu dikenal sebagai salah satu wilayah rawan konflik kekerasan bersenjata. Wilayah perbatasan ini dikenal sangat mudah terjadi mobilisasi dan migrasi antarpenduduk yang bermukim di perbatasan kedua negara itu.
Sejak tahun 1964 masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dilaksanakan secara besar-besaran program transmigrasi di wilayah Keerom dengan menempatkan sedikitnya tiga ribu jiwa (pada waktu itu). Para transmigran ini sudah beranak-pinak di Keerom. Wilayah Kabupaten Keerom merupakan sebuah wilayah rawan konflik, selain karena terletak di wilayah perbatasan antarnegara Indonesia dengan PNG, juga karena di wilayah ini bermukim ratusan ribu masyarakat transmigran.
Hasil Penelitian
Dalam Buku “Paradoks Papua” (Pola-pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran HAM dengan Fokus di Kabupaten Keerom) para peneliti yaitu Cypri Dale dan John Djonga memberikan Rekomendasi antara lain menegaskan bahwa keadilan sosial, hak atas pembangunan, dan kebijakan afirmatif bagi Orang Asli Papua belum terwujud di Kabupaten Keerom.
Pola ketidakadilan dan peminggiran atau marginalisasi di Kabupaten Keerom mengikuti irisan ras, dimana mayoritas orang asli Papua berada di pinggiran dalam pola sentral-periferi atau berada di bawah dalam pola piramida. Proses dan hasil pembangunan diakses secara lebih besar oleh para migran atau penduduk non-Papua yang jumlahnya melampaui jumlah penduduk asli akibat program transmigrasi pemerintah dan migrasi spontan. Akses terhadap proses dan manfaat pembangunan justru ditangkap dan dikuasai oleh migran non-Papua, sementara orang Papua terutama yang berada di pinggiran dan di pedalaman tidak ikut menikmati pembangunan yang ada.
Terkait dengan HAM, Rekomendasi peneliti menyatakan bahwa Negara belum mengambil langkah yang jelas untuk memenuhi Hak atas pembangunan orang Papua. Mengacu kepada deklarasi HAM PBB tentang Pembangunan, sampai sejauh ini orang Papua belum menikmati “proses ekonomi, sosial, kultural dan politik yang menyeluruh, yang bertujuan untuk memperbaiki secara konstant kemsalahatan segenap warga dan semua orang lewat peranserta yang aktif dalam pembangunan dan distribusi yang adil atas hasil pembangunan. ***
Oleh: Peter Tukan
Penilis Adalah Wartawann Aktif 1984-2010