Manokwari, harianpapuanews.id – Di tengah perkembangan ekonomi global yang tidak kondusif tersebut, kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 2018 cukup baik dengan stabilitas yang tetap terjaga dan momentum pertumbuhan yang berlanjut. Pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan mencapai sekitar 5,1 persen ditopang oleh kuatnya permintaan domestik yang tumbuh sekitar 5,5 persen.
“Ekspor secara riil tumbuh sekitar 6,9 persen. Akan tetapi tingginya impor yaitu sekitar 12,3 persen menyebabkan permintaan eksternal berkontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018,” ungkap Kepala Perwakilan Bank Indonesia, Provinsi Papua Barat, Donny H.Heatubun, Kamis (13/12/2018).
Secara spasial, kata Donny, kinerja pertumbuhan ekonomi yang membaik tercatat di sejumlah wilayah NKRI. Pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa tahun 2018 diperkirakan mencapai 5,7 persen didukung oleh kuatnya investasi dan konsumsi, serta membaiknya kinerja sektor manufaktur.
Ekonomi wilayah Sumatera diperkirakan tumbuh 4,6 persen dengan dukungan ekspor khususnya kelapa sawit. Pertumbuhan ekonomi di wilayah Sulawesi serta Maluku dan Papua diperkirakan tumbuh tinggi, yaitu masing-masing 6,8 persen dan 9,7 persen, didukung oleh sektor pertambangan.
“Sementara itu, pertumbuhan ekonomi wilayah Bali dan Nusa Tenggara tumbuh 2,6 persn dan wilayah Kalimantan tumbuh 3,6 persen pada tahun 2018. Di samping faktor ekspor dan harga komoditas, perbedaan pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah dipengaruhi pula oleh intensitas investasi, khususnya infrastruktur,” jelas Donny.
Inflasi sepanjang tahun 2018 tetap rendah dan karenanya mendukung peningkatan daya beli masyarakat. Dengan perkembangan hingga bulan Oktober, inflasi pada akhir tahun 2018 diperkirakan sekitar 3,2 persen, di bawah titik tengah kisaran sasaran 3,5+1 persen. Semua kelompok inflasi, baik inflasi inti (core inflation), harga pangan (volatile foods) dan komoditas yang harganya diatur Pemerintah (administered prices), terkendali.
“Rendahnya inflasi didukung oleh terjaganya ekspektasi inflasi, minimalnya tekanan permintaan, dan terbatasnya dampak depresiasi Rupiah. Terkendalinya inflasi, khususnya kelompok volatile foods dan administered prices, juga sebagai hasil nyata koordinasi yang erat antara Bank Indonesia dan Pemerintah melalui TPI (Tim Pengendalian Inflasi) baik di Pusat maupun di daerah,” kata Donny.
Menurut Donny, perbaikan kinerja perekonomian nasional disertai oleh upaya penurunan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang aman. Sejumlah kebijakan telah ditempuh, baik dari sisi fiskal, sektor riil, maupun moneter, meskipun masih memerlukan waktu untuk membuahkan hasil yang nyata.
Defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan III 2018 masih relatif tinggi sejalan dengan menguatnya permintaan domestik, tercatat sebesar 8,8 miliar dolar AS atau 3,37 persen PDB, lebih tinggi dibandingkan dengan defisit triwulan sebelumnya sebesar 8,0 miliar dolar AS atau 3,02 persen PDB.
Kenaikan defisit transaksi berjalan antara lain dipengaruhi kenaikan impor yang berkaitan dengan proyek infrastruktur Pemerintah yang diyakini dapat meningkatkan produktivitas perekonomian ke depan.
“Sementara itu, surplus neraca transaksi modal dan finansial pada triwulan III 2018 cukup besar, yakni 4,2 miliar dolar AS, didukung oleh meningkatnya aliran masuk investasi asing. Secara keseluruhan tahun 2018, defisit transaksi berjalan diperkirakan tetap berada di level yang aman, yakni di bawah tiga persen PDB,” tandas Donny.
Nilai tukar Rupiah bergerak sesuai mekanisme pasar dan mendukung proses penyesuaian sektor eksternal dalam menopang kesinambungan perekonomian. Tekanan depresiasi Rupiah tidak terlepas dari kuatnya mata uang dollar AS dan pembalikan aliran modal asing seiring dengan tingginya ketidakpastian perekonomian global.
Akan tetapi, respon kebijakan moneter dan langkah stabilisasi oleh Bank Indonesia dengan koordinasi erat pemerintah dapat meredakan tekanan depresiasi Rupiah. Bahkan Rupiah kemudian bergerak stabil dan cenderung menguat seiring dengan kembali masuknya aliran investasi portfolio asing, akselerasi kebijakan pendalaman pasar uang, tetap kondusifnya ekonomi domestik, serta mulai meredanya ketegangan perdagangan AS dan Tiongkok.
“Secara year-to-date (ytd) sampai dengan 19 November 2018, Rupiah terdepresiasi sekitar tujuh persen atau lebih rendah dari negara-negara Emerging Markets lain seperti India, Afrika Selatan, Brasil, Rusia, dan Turki. Stabilitas nilai tukar Rupiah juga didukung oleh posisi cadangan devisa yang cukup tinggi sebesar 115,2 miliar dolar AS pada akhir Oktober 2018,” pungkas Donny. (mel)
