Manokwari, harianpapuanews.id – Presiden Republik Indonesia Ir.Joko Widodo (Jokowi) didesak segera melakukan policy revieuw (peninjauan kebijakan) terhadap pola pendekatan keamanan di Tanah Papua yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun terakhir ini.
“Langkah awal dapat dimulai dari daerah konflik, di Kabupaten Nduga-Provinsi Papua, dengan melakukan penarikan seluruh personil militer dan pos-pos penjagaan keamanan setempat,” ungkap Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy melalui siran peranya, Senin (26/12/2018).
Selanjutnya, kata Warinussy, memberi akses yang terbuka bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Polri untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing yaitu, melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM yang berat sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia (UU-RI) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU-RI Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadikan HAM.
Serta, Polri dapat menjalankan tugasnya dalam melakukan penyelidikan kriminal (criminal investigation) sesuai amanat UU-RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU-RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri.
“Usulan kepada Presiden ini sebagai suatu reaksi positif atas dasar berbagai fakta, bahwa segenap tindakan operasi militer di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir ini, senantiasa berdampak buruk terhadap kehidupan sosial masyarakat, khususnya OAP (orang asli Papua),” kata Warinussy.
Oleh sebab itu, lanjut Warinussy, sudah saatnya dilakukan langkah-langkah penegakan hukum yang berada dalam ranah tupoksi Polri yang menjamin berlangsungnya penegakan supremasi hukum di Tanah Papua, sebagai diamanatkan dalam Pasal 48 dan Pasal 49 UU-RI Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua.
“Upaya perubahan kebijakan atas pola pendekatan keamanan kepada pola pendekatan damai yang mengedepankan aspek penegakan hukum serta rekonsiliasi, LP3BH akan memberi penguatan pada pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, di Provinsi Papua dan Papua Barat dalam menjalankan kewenangan pemerintahan lokal, di Tanah Papua,” jelas Warinussy.
Menurut Warinussy, keamanan lebih menjadi tanggung-jawab Kepolisian yang senantiasa dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah, dalam menjalankan pembangunan bersama Pemerintah Pusat. Proses pelaksanaan pengamanan domestik di Tanah Papua, katanya, dapat digalang oleh Polri bekerjasama dengan berbagai elemen maayarakat sipil dan masyarakat adat di Tanah Papua.
“Model pemolisian masyarakat (community policing) yang berbasis pada maayarakat di Tanah Papua dalam menjamin pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, menurut saya sangat mungkin dapat terlaksana dengan baik jika Presiden mau melakukan perubahan pola pendekatan keamanan melalui langkah kebijakan demiliterisasi di Tanah Papua sejak sekarang ini,” tandas Warinussy.
Berkenaan dengan itu, dalam proses pelaksanaannya dapat diawasi oleh lembaga negara setingkat lembaga ketahanan nasional (Lemhanas), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Ombudsman Republik Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Lipi).
“Sehingga, laporan termasa mengenai pelaksanaan perubahan pola pendekatan keamanan kepada pola pendekatan damai berbasis penegakan hukum di Tanah Papua dapat diperoleh Presiden setiap saat,” pungkas Warinussy. (*/mel)
