Manokwari, harianpapuanews.id – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy menjelaskan, kasus dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat yang terjadi di Wasior pada bulan Juni 2001 hingga kini sudah 18 tahun tanpa penyelesaian hukum, dan juga belum adanya pertanggung jawaban Negara Republik Indonesia kepada para korban yang sebagian diantaranya sudah meninggal dunia.
“Ketiadaan pertanggung jawaban Negara Indonesia tersebut disebabkan kasus dugaan pelanggaran HAM berat Wasior tersebut belum pernah dibawa ke pengadikan HAM sesuai amanat Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Warinussy melalui siaran persanya, Kamis (27/12/2018).
Menurut Warinussy, hal ini berakibat tidak dijalankannya proses hukum menurut mekanisme hukum Indonesia yang telah diatur sejak Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (3), Pasal 28 J ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) UUD 1945.
“Sehingga, sesungguhnya amanat konstitusi negara ini sama sekali tidak dijalankan oleh Pemerintah Indonesia hingga pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini,” tandasnya.
Proses hukum kasus dugaan pelanggaraan HAM berat Wasior yang tidak berjalan sejak tahun 2001 ini sekaligus merupakan suatu bentuk impunitas negara terhadap para korban kasus Wasior dan juga menunjukkan ketidaktaatan negara terhadap amanat Pasal 45 UU-RI Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Sebagaimana dirubah dengan UU-RI Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas UU-RI Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.
“Jadi, sepanjang kurang lebih 18 tahun berlakunyaUU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otsus Bagi Provinsi Papua yang juga mengamanatkan mekanisme penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat. Dalam hal ini kasus Wasior sama sekali tidak pernah terselesaikan oleh Negara Indonesia,” terang Warinussy.
Padahal, kata Warinussy, negara telah memiliki perangkat hukum sebagai mekanisme penyelesaian di tingkat nasional yaitu berdasarkan amanat Pasal 28 A hingga Pasal 28 J UUD 1945. Serta UU-RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU-RI Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dan Pasal 45 UU-RI Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otsus Bagi Provinsi Papua.
“Ketidakmampuan negara dan presiden dalam mendorong penegakan hukum dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat Wasior menjadi bukti gagalnya pemerintah menjalankan amanat UU Otsus sesuai latar belakang politik lahirnya instrumen hukum tersebut dahulu,” tegas Warinussy. (*/mel)